Walau Hanya Sekejap Mata
Cobalah perhatikan lebih seksama salah satu doa yang diajarkan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berikut ini
“Ya Alloh rahmatMu lah yang aku harapkan. Maka janganlah Engkau serahkan diriku kepada diriku sendiri, sekejap mata pun. Perbaikilah semua keadaanku. Tidak ada Tuhan selain Engkau.” (HR. Abu Daud)
Tampak jelas sekali sebagaimana Rasulullah shollallahu alaihi wasallam figur dan guru paling baik untuk kita dalam kebersihan dan kesucian jiwa itu, memohon dengan segala kesungguhan. Ia bermunajat dengan potongan-potongan kata yang begitu merajuk memohon kasih sayang Alloh subhana wata’ala. Rasul yang ma’shum itu, meminta, agar Alloh tidak membiarkannya sendirian menjalani hidup. Begitu kuatnya permintaan Rasulullah agar Alloh tidak membiarkannya hanyut terbawa oleh keinginan nafsu. Meski hanya tharfata’ain atau dalam sekejap mata. Sekali lagi, meski hanya dalam sekejap mata.
Penegasan kata ‘sekejap mata’ dalam doa Rasul itu menandakan bahwa hidup ini memang seharusnya tak boleh sedikitpun tergelincir dalam kedurhakaan. Hidup ini, satu detik pun tidak boleh jatuh pada kemurkaanNya. Tidak boleh sejenah pun terbawa dalam arus kemaksiatan. Kita sangat membutuhkan pertolongan Alloh di sini. Seperti yang diungkapkan dalam bait-bait doa Rasulullah yang lain, “Wahai Yang Membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku dalam agamaMu.”
Begitu panjang rentang waktu yang harus kita lewati dalam hidup ini. Melangkahkan kaki, satu langkah demi satu langkah. Menata dan menyusun amal-amal dari waktu ke waktu. Melihat ke belakang, berapa jauh jarak yang telah ditinggalkan. Sejauh dan sepanjang itul kewaspadaan kita untuk tidak ‘cenderung’ pada bisikan yang mengajak pada kemaksiatan. Sejauh dan sepanjang itulah kita harus senantiasa memohon dan menghiba kepada Alloh agar benar-benar memelihara dan melindungi kita dari kesesatan yang membawa kesengsaraan.
Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapat kasih saya Alloh.
Nafsu keburukan itu tak pernah mati. Setiap kita berhasil mematahkannya, maka ia akan muncul kembali dalam bentuk yang lain. Hal ini disebutkan dalam perkataan Ibnu Atha-illah, “Setiap kali nafsu itu mati, maka Alloh akan menghidupkan nafsu yang lain hingga ia mati dan pedangmu meneteskan darah mujahadah.” Begitulah. Tuntutan nafsu manusia akan terus menerus merengek pada manusia untuk dipenuhi. Ia bisa saja dipatahkan, tapi akarnya akan tetap ada dan suatu saat akan tumbuh dan hidup kembali dalam bentuknya yang berbeda.
Karena itu, kita memerlukan dua bekal kesabaran. Shabr badaniy dan shabr nafsaniy. “Kesabaran itu mempunyai dua bentuk. Pertama disebut shabr badaniy, seperti menanggung beban secara fisik saat melakukan pekerjaan berat yang terkait urusan agama atau dunia. Kedua, shabr nafsaniy, seperti sabar dari menahan diri dari keinginan hawa nafsu yang merongrong terus menerus,” begitulah kata Ibnu Quddamah dalam Minhajul Qashidin.
Kuraslah semua potensi terpendam dalam diri kita untuk kebenaran. Habiskanlah waktu yang kita miliki untuk mempersembahkan amal-amal shalih yang banyak itu. Karena, pasti, jika kebenaran menghabiskan potensi terpendam dalam diri kita, maka kebatilan tak akan mendapat tempat untuk menggunakan potensi itu. Jika kebenaran telah menguasai hati dan sanubari kita, sudah pasti tak ada tempat lagi bagi kerisauan, main-main, bisikan dan menjelek-jelekkan orang. Otak kita mustahil secara fokus memikirkan lebih dari satu hal pada waktu bersamaan. Beginilah yang difirmankan Alloh subhana wata’ala,”Alloh sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.” (QS. Al Ahzâb: 4)
Sebagaimana kita tidak bisa membayangkan dua masalah dalam waktu yang sama, maka kita juga tidak bisa mengumpulkan dua perasaan yang saling bertentangan. Tidak mungkin kita bersemangat dalam suatu pekerjaan dan pada waktu yang sama kita cemas. Karena salah satu dari dua perasaan ini mengusir yang lainnya. Imam Syafii rahimahullah mengatakan, “Idzâ lam tusyghil nafsaka bil haqq, syaghalatka bil bathil.” Jika engkau tak menyibukkan diri dengan kebenaran, maka dirimu akan disibukkan dengan yang bathil. Jika kita tidak menyesuaikan diri dengan selalu mengisi waktu dan bergerak cepat melakukan kebaikan, berjuang dengan potensi yang teratur, maka kita akan terbawa arus pikiran buruk, gegabah, kesia-siaan, senda gurau, kebohongan dan sebagainya.
Ini mungkin termasuk alasan, mengapa para penggagas gerakan Islam yang berkonsentrasi pada pembinaan, selalu menekankan target amal-amal tertentu untuk mengisi hari-hari seorang muslim. Mereka menjadwal dan mengevalusi kegiatan secara rinci, dari target tilawah Al-Qur’an satu hari minimal satu juz, shalat berjemaah, puasa tiga hari dalam satu bulan, menjaga wirid harian setiap pagi hari dan petang, qiyamul lail dua kali dalam sepekan, ziarah kubur satu kali per bulan, dan lain-lainnya. Selain merujuk pada perintah Alloh dan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, pencapaian target amal ibadah harian itu juga akan minimalisir kekosongan waktu yang sangat rentan bagi stabilitas iman seseorang. “Hendaklah engkau menunaikan dengan baik hak dirimu dan orang lain secara sempurna tanpa kurang sedikitpun dan tanpa mengulur-ulur waktu dan menundanya,” begitu nasihat Hasan Al Banna.
Kita memang tidak boleh bermain-bermain dengan waktu. Karena, “Waktu bagai pedang yang sangat tajam. Jika kita tidak mampu mengendalikannya, diri kitalah yang akan menjadi sasarannya.” Tentu bukan berarti kita setiap hari kita harus berada dalam kondisi tegang dan pasang urat kencang. Kita hanya diperintahkan ekstra waspada dan hati-hati dalam memanfaatkan waktu.
Terakhir, di sini. Mari menghitung, berapa banyak waktu-waktu yang tak kita lewati di jalan ketaatan? Berapa panjang jarak kesempatan hidup yang tak terisi dengan amal-amal shalih? “Sering terjadi pada umur yang panjang masanya, tapi sedikit manfaatnya.
Kita senantiasa berdoa pada Alloh agar Dia tak melepaskan kita tanpa perlindunganNya, tharfata ‘ain, meski hanya sekejap mata. (tim redaksi)