Perjalanan Mencari 3 Tanda
“Wahai saudaraku! Celakalah orang-orang Bani Qailah!”
Laki-laki itu berusaha menoleh ke bawah kakinya, menangkap suara-suara yang datang, sementara tangannya mencengkeram erat pokok pohon sebesar lingkaran tangannya itu agar dirinya tidak merosot jatuh.
Rupanya seorang laki-laki Yahudi dari Bani Quraidhah, misan tuannya, telah datang ke kebun ini. Ia tampak seperti sedang dikejar musuh, menemui laki-laki yang kini menjadi tuan tempatnya mengabdi yang sedang duduk-duduk di bawah pohon kurma yang ia panjat itu. Sepertinya laki-laki keturunan Nabi Ya’qub itu membawa sebuah rahasia. Setidaknya berita besar mahapenting.
Tuannya seketika berdiri seperti merasakan gempa yang tiba-tiba mengguncang bumi. Laki-laki di atas pohon itu pun terkejut alang-kepalang. Tiba-tiba ia merasakan gemuruh dalam dadanya, yang membuat menggelepar seluruh tubuhnya. Ia seperti kehilangan seluruh tenaganya, nyaris membuatnya merosot ke bawah menjatuhi tuannya.
Lalu dengan perlahan-lahan dan tangan gemetaran ia menuruni seruas demi seruas pohon kurma itu. Sesuatu bergejolak di dalam dadanya, membuat perasaan ingin tahunya timbul seketika. Sesuatu yang membuat keberaniannya tumbuh menjulang mengalahkan statusnya sebagai budak seorang tuan di antara mereka. Sesuatu yang mendorongnya harus bertanya, mengenyahkan segala ketakutan yang mungkin ada.
“Benarkah apa yang telah Tuan katakan itu?” tanyanya pada laki-laki Yahudi di depannya itu setelah ia menjejakkan kaki di tanah.
Plak! Plak! Bukan jawaban yang ia terima, melainkan tamparan yang keras mendarat ke wajahnya yang tirus dan legam. Dari sudut matanya yang serasa merabun akibat tamparan itu, ia melihat raut muka tuannya begitu merah padam seperti terpanggang matahari di atas gurun sahara. Laki-laki itu pasti bukan main marahnya atas kelancangan dirinya; seorang budak yang bahkan hidup dan matinya sangat tergantung padanya.
“Apa urusanmu?!” bentaknya mengalahkan gemuruh badai pasang pasir jika saja sedang berkecamuk. Tangannya masih menegang, bersiap melayang sekali lagi. “Teruskan saja pekerjaanmu!!”
Laki-laki itu bergeming. Kedua kakinya seperti telah terbenam selutut ke dalam bumi. Ia tak bergerak. “Maaf Tuan, aku tidak mempunyai urusan apa-apa,” katanya pada laki-laki bermuka merah padam itu. “Aku hanya ingin mengetahui kebenaran apa yang dikatakannya tadi.”
***
Ia kini terkenang pada berbilang tahun yang telah berselang. Sejak ia lahir sebagai putra terhormat seorang kepala desa Jay di Isfahan, lalu berjalan ke berbagai tempat untuk mencari kebenaran hakiki yang membuatnya gelisah hari demi hari, terseret peristiwa demi peristiwa, mengabdi dari satu orang ke orang lain, hingga kini terdampar menjadi budak orang Yahudi di kota Yatsrib jazirah Arab ini. Ia terkenang akan pertanyaan yang selalu ia ajukan ketika seseorang kepada siapa ia mengabdikan diri hendak menjelang ajal. “Di saat engkau sedang menanti ajal seperti sekarang ini, kepada siapakah engkau mewasiatkan diriku dan apakah yang engkau perintahkan kepadaku?”
Terakhir jawaban itu ia dengar dari mulut Uskup di ‘Ammuriyah, sebuah kota di wilayah Romawi, tempat ia mengabdikan diri ke sekian kali. “Anakku,” kata Uskup dengan lemah di atas pembaringan kepada anak muda itu, “menurut pengetahuanku, sekarang telah tiba pada masa kedatangan seorang Nabi. Ia diutus membawa agama Nabi Ibrahim. Ia akan keluar diusir dari suatu tempat di tanah Arab, kemudian berhijrah menuju daerah di antara dua perbukitan. Di antara dua perbukitan itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada dirinya terdapat tanda-tanda yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia mau menerima hadiah, tetapi pantang menerima sedekah. Di antara kedua tulang belikatnya terdapat cap kenabian.”
Ia menyimak dengan cermat pesan Uskup itu, seperti layaknya mengingat-ingat peta jalan keluar dari sebuah labirin tak berpintu. Seorang Nabi. Penerus risalah Ibrahim. Negeri Arab. Hijrah diantara dua perbukitan. Mau menerima hadiah, pantang menerima sedekah. Cap kenabian di antara kedua tulang belikat di punggungnya…. Kata-kata kunci itu begitu melekat erat-erat dalam ingatannya.
“Anakku,” kata Uskup itu di antara sengal menjemput kematian, “jika engkau sanggup pergi ke negeri itu, maka lakukanlah!”
***
Sore itu, ia mengumpulkan beberapa jenis makanan yang ia punya. Begitu ada kesempatan lepas dari tuan Yahudinya, ia menyelinap pergi ke Quba; sebuah tempat di luar kota Yatsrib, tempat Nabi yang diceritakan misan tuannya tadi siang itu kini bermukim. Rupanya dibantu sekalian sahabatnya, orang Arab itu sedang membangun sebuah masjid dari pohon dan pelepah kurma sebagai tempat ibadah.
Ia pun segera mencari dan menjumpai laki-laki mulia itu diantara sekalian para sahabatnya.
“Aku mendengar bahwa engkau adalah orang yang shaleh. Engkau memiliki beberapa orang sahabat yang hidup merantau dan membutuhkan pertolongan,” kata laki-laki itu setelah berhadapan dengan seorang yang wajahnya bersinar serupa purnama di malam hari. “Aku mempunyai sesuatu yang hendak kusedekahkan. Namun aku berpendapat bahwa engkau lebih berhak menerima sedekah ini daripada orang lain.”
Makanan yang dibawanya kemudian diserahkannya kepada laki-laki dari Makkah itu. Tetapi laki-laki Arab itu berkata kepada sekalian sahabatnya yang hadir, “Makanlah itu!”
Budak itu terkesiap. Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan laki-laki mulia itu menahan diri untuk tak menerima makanan sedekahnya, apalagi memakannya. Di dalam hati ia berkata, “Inilah tanda yang pertama itu…!”
Setelah beberapa hari berlalu, laki-laki dari Isfahan itu pun mengumpulkan lagi beberapa jenis makanan yang ia miliki. Ia lalu mencari dan menjumpai Nabi yang kini sudah berada di kota Yatsrib. Beliau tengah dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya.
“Aku tahu jika engkau tidak makan makanan dari sedekah,” katanya membuka percakapan. “Karena itu, makanan ini kuhadiahkan kepada engkau sebagai tanda penghormatanku kepadamu.”
Dan ternyata laki-laki Arab itu menerima makanan yang ia bawa, lalu memakannya bersama para sahabat yang lain.
Budak Farsi itu pun membatin di dalam hati, “Nah, inilah tanda yang kedua itu…!”
Keraguanlah yang mengantarkan pada kebenaran. Barangsiapa yang tidak merasa ragu, maka ia tidak memandang. Barangsiapa yang tidak pernah memandang, maka ia tak pernah melihat. Dan barangsiapa yang tidak pernah melihat, maka ia akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan.
Begitulah al-Ghazali menulis dalam Munqidz min al-Dhalal seribu tahun yang lalu. “Keraguan adalah peringkat pertama keyakinan,” simpul al-Ghazali. Konon pernyataan ini telah dijiplak oleh filsuf dan matematikawan Prancis, Rene Descartes (1596-1650) sehingga muncullah postulatnya yang terkenal “La doute est le premier pas vers la certitude”. Keraguan adalah jalan pertama menjadi keyakinan. Tidak mengherankan jika semua metode filsafat dan matematikanya diawali dari keraguan. Jika semua telah diragukan, lalu apa yang tersisa? Tentu yang tersisa adalah kesadaran diri sendiri, yakni pikiran atau nalar. “Cogito ergo sum,” simpul Descartes pada akhirnya. Aku berpikir, maka aku ada.
Tidak ada pencarian yang lebih abadi ketimbang pencarian akan kebenaran. Ia telah dan akan dilakukan jutaan orang, dari sejak manusia diciptakan hingga kelak dimusnahkan dari muka bumi. Pencarian kebenaran adalah perjalanan yang tak akan lekang oleh waktu. Ia mungkin terjadi setiap detik, karena begitu juga keraguan menghinggapi hati-hati yang gelisah. Keraguan yang membuat mereka, di seluruh permukaan bumi, bergerak, berjalan, mencari, meneliti, dan akhirnya menemukan Sang Kebenaran hakiki. Seperti Ibrahim a.s. yang dilanda gelisah, hingga menggerakkannya untuk mencari dan menemukan hakikat Tuhan Semesta Alam yang wujud abadi. Tuhan yang bukan bulan atau matahari, yang fana dan sementara, yang segera setelah terbit akan terbenam. Setelah ada, lalu tiada.
Perjalanan hamba mencari kebenaran hakiki setiap detik ini boleh jadi didesain Tuhan sedemikian rupa, karena Dia senang mengetahui hamba-Nya yang ikhlas tertatih berjalan ke arah-Nya, berusaha mencari-Nya di segala penjuru dunia. Ia gembira jika ada hamba-Nya mengetuk pintu-Nya. Ia Sang Maha Cinta yang bahagia jika dicinta. Ia akan berlari menyongsong ketika hamba-Nya berjalan mendekat pada-Nya.
Begitupun pemuda Isfahan bernama Rouzbeh ini. Ia telah terpenjara di rumahnya sendiri karena kecintaan berlebihan ayahnya. Ia hampir-hampir tak mengetahui bagaimana orang-orang di luar rumahnya hidup. Hingga ketika kesempatan menghirup udara di luar rumah itu datang, ia menjumpai ada sesuatu yang baru, sebuah ‘kebenaran’, lebih dari apa yang selama ini ia yakini.
Mulailah petualangannya mencari kebenaran yang menyejarah itu dimulai. Petualangan yang telah mengubahnya dari seorang putra terpandang yang merdeka menjadi budak orang Yahudi. Petualangan yang akhirnya melabuhkannya pada seorang pembawa kebenaran sejati.
Petualangan yang kemudian mengubahnya menjadi seorang Salman al-Farisi.
Suatu hari pada kesempatan yang lain, budak Farsi itu pun menemui lagi Nabi saw. Ada satu tanda lagi yang ingin ia buktikan. Satu tanda yang menggenapkan tiga tanda kenabian seperti yang selama ini ia cari. Satu tanda yang akan mengakhiri petualangannya mencari tempat berlabuh, kepada siapa pengabdiannya yang terakhir akan diberikan. Satu tanda yang akan menghapus segala dahaga yang ia derita dari hari ke hari akan kebenaran hakiki, yang ia cari sepanjang hidupnya ini.
Nabi saw. kala itu tengah berada di pekuburan Baqi’ di dalam kota Yatsrib, yang kini telah berubah namanya menjadi kota Madinah. Beliau baru saja mengantarkan jenazah salah seorang sahabatnya yang meninggal. Seperti biasa, beliau tengah dikelilingi oleh para sahabatnya.
Setelah mengucap salam kepadanya, laki-laki budak itu lalu memutar haluan, bergeser dan kemudian duduk di belakang Nabi saw.
Nabi saw. rupanya mengetahui maksud kedatangannya. Beliau lantas dengan sengaja membuka bagian belakang bajunya. Tersingkaplah penutup punggung itu dan tampaklah kulit punggung Nabi saw. putih bersih seperti memancarkan cahaya tanpa cela.
Salman al-Farisi, budak laki-laki Yahudi itu, seketika terkesiap untuk ke tiga kalinya. Alangkah bahagia perasaan laki-laki itu ketika di sana, di antara kedua tulang belikat laki-laki Arab itu, ia menemukan sebuah cap kenabian. Sebuah tanda yang ketiga, yang menguatkan dirinya, bahwa laki-laki inilah seorang Nabi yang ia rindukan selama ini.
Seketika itu juga ia mendekapkan mukanya pada punggung putih bersih milik Nabi itu. Menciumi cap kenabian di antara tulang belikatnya. Menciuminya bertubi-tubi. Menumpahkan segala rindu berbilang tahun yang telah ia lewati, ber-farsakh jarak yang telah ia jalani, hanya untuk bertemu laki-laki shaleh pemilik tiga tanda kenabian itu. Laki-laki pembawa risalah kebenaran dari Tuhan Semesta Alam.
Dan anak muda itu pun kini menangis tersedu-sedu di punggung Nabi saw. (bahtiar hs)
***