Bersyukurlah Tanpa Putus
Ada banyak keterbalikan kita dalam hidup, di mana kita lebih bisa meraba kesulitan daripada meraba kemudahan. Kita, lebih pandai memikirkan beban hidup, ketimbang keringanan hidup yang pasti kita rasakan. Kita lebih sering merasakan hidup ini dari sudut penderitaan, tumpukan masalah, beban jiwa yang berat, tapi sangat jarang melihat hidup dari sisi kelapangan, kesenangan, kemudahan yang lebih banyak kita terima.
Mari merenung sejenak. Pejamkan mata dan hadirkan bagian-bagian dari episode kehidupan yang sudah kita lalui. Rasakanlah peristiwa hidup mana yang begitu menggelayut berat dalam jiwa kita. Lalu lihatlah peristiwa hidup mana yang ternyata bernilai kemudahan, keringanan, keluasan yang kita rasakan dan lalui dalam hidup ini. Tadabburkanlah firman Alloh subhana wata’ala, “Maka, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah: 5-6)
Adakah bagian penderitaan lebih dominan dalam hidup kita? Atau bagian keringanan, kemudahan, kelapangan, yang lebih banyak kita rasakan? Kesulitan tidak akan berdiri sendiri. Karena dalam kesempatan, pasti ada keluasan yang diberikan Alloh untuk kita. Karena dalam kesusahan, pasti ada kemudahan yang dihamparkan-Nya untuk kita.
Ucapkanlah “Alhamdulillah” dengan sepenuh nafas dan penghayatan yang dalam. Syukurlah semua fase hidup yang kita alami di sini. Karena ternyata seluruh ruang kehidupan kita tak pernah terlepas dari limpahan rahmat Alloh. Segenap gerak dan langkah kita di sini, selalu diikuti dengan kucuran karunia Alloh yang melimpah ruah. Semua peristiwa yang kita alami di sini, selalu berada di bawah naungan cinta Alloh. Semuanya. Seluruhnya.
Limpahan harta, kenikmatan hidup secara fisik, kebaikan pandangan kasat duniawi manusia, sama sekali bukan simbol bahwa kasih sayang Alloh kepada orang yang menglaminya lebih dari orang lain yang tidak merasakannya. Keindahan rupa, kebagusan pandangan, kenikmatan lahir, juga tidak menjadi tanda bahwa Alloh lebih mencintai orang-orang yang yang memilikinya ketimbang orang yang tidak mengalami keadaan seperti mereka. Kesuksesan, keberhasilan, keunggulan, sekali-kali tidak menjadi rambu bahwa orang yang mengalaminya lebih dikasihi dan lebih dicintai oleh Alloh ketimbang orang yang gagal dan kurang prestasinya di mata manusia.
Tingkat kemuliaan seorang hamba dan kecintaan Alloh kepadanya, tergantung tingkat keistiqomahannya dalam melakukan amal-amal taat pada Alloh, ketundukannya untuk tetap berada dalam jalur keridaan Alloh subhana wata’ala. Dunia, bisa dimiliki oleh semua orang. Kebagusan, keindahan, kenikmatan, kesuksesan, bisa dipunyai siapa saja. Kafir maupun mukmin, pelaku maksiat maupun orang yang taat, pendusta maupun orang yang jujur. “Sesungguhnya Alloh memberikan dunia kepada orang yang Ia cintai dan orang yang tidak Ia cintai. Barangsiapa yang diberikan agama oleh Alloh, maka sesungguhnya Alloh telah mencintainya.” (HR. Ahmad)
Harta memang tak menjadi jaminan kebenaran dan cinta Alloh subhana wata’ala. Dahulu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam justru tidak memberikan harta kepada orang yang ia cintai. Disebutkan dalam Fathul Bary, suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membagi-bagikan harta ghanimah kepada sebagian sahabat dan membiarkan sebagian sahabat lainnya. Pembagian yang terkesan tidak adil itu lalu menjadi bahan pembiacaraan di kalangan sahabat radhiallahu anhum. Rasul shallallahu alaihi wasallam kemudian menjelaskan, “Sesungguhnya aku memberikan harta kepada seseorang dan juga membiarkan orang yang lain. Tapi orang yang kutinggalkan (tidak kuberi harta) itu lebih aku cintai daripada orang yang aku berikan harta. Aku memberikan harta kepada orang yang ada dalam hatinya rasa khawatir dan gelisah. Dan aku membiarkan orang lain (yang tidak aku berikan harta) karena di dalam hatinya ada kekayaan dan kebaikan.” (Fathul Bari, 13/511)
Jika kita sedang melewati ujian hidup, buang jauh-jauh bayangan keputusasaan kita dari rahmat Alloh subhana wata’ala. Apapun fenomena hidup ini tidak boleh membalik sudut pandang keimanan kita. Karena kebaikan di dalam pandangan keimanan, adalah ketaatan pada Alloh. Tidak tergantung oleh penilaian sesama makhluk. Karena kebenaran dalam timbangan aqidah kita, selalu ditentukan oleh keridaan Alloh. Tidak ditentukan oleh keinginan makhluk.
Putus asa, kecewa berlebihan, merasa tak mempunyai harapan, menganggap jalan hidup menjadi buntu karena permasalahan yang mendera, adalah bagian dari sifat-sifat kekufuran. Mufassir Fakhur Razi dalam Tafsir Al Kabir 18/199, menyebutkan, “Ketahuilah bahwa putus asa dari rahmat Alloh tidak akan terjadi kecuali jika seseorang yakin bahwa Alloh tidak mampu dalam kesempurnaan, yakin bahwa ilmu Alloh tidak meliputi seluruh makhluk-Nya, yakin bahwa Alloh itu bakhil dan tidak mudah memberi. Dan jika seseorang telah menyakini satu hal saja dari tiga keyakinan itu, maka orang tersebut telah jatuh pada kekufuran. Itu sebabnya dalam Al-Qur’an disebutkan, “Dan tidaklah putus asa terhadap rahmat Alloh kecuali orang-orang kafir.” (QS. Yusuf: 87)
Mari hitung-hitung kemudahan dalam hidup ini. Syukuri setiap detik demi detiknya. Dengarkanlah nasihat Syaikh Mushtafa As Siba’I, seorang juru dakwah asal Mesir untuk kita, “Kunjungilah penjara sekali dalam hidup agar engkau tahu apa kenikmatan yang Alloh berikan kepadamu berupa kebebasan. Kunjungi pengadilan satu kali dalam setahun agar engkau tahu apa kemurahan Alloh padamu karena engkau memiliki kebaikan akhlak. Kunjungi rumah sakit satu kali dalam satu bulan agar engkau tahu bagaimana kenikmatan Alloh kepadamu yang mempunyai kesehatan. Kunjungi kebun dan pepohonan satu kali dalam satu minggu agar engkau tahu, apa kenikmatan Alloh yang diberikan atas dirimu dari keindahan alam. Kunjungi Tuhanmu setiap waktu agar engkau mengetahui bagaimana kemurahan-Nya kepadamu karena telah memberimu hidup dengan berbagai kenikmatan yang tak terhitung. (tim redaksi)
Keterangan gambar: diambil dari sangbintang.wordpress.com