Pendidikan yang Mencerahkan dan Memberdayakan
Ada salah seorang Trainer mengajukan suatu kasus pada seminar yang di latihnya. Tidak sebagaimana biasanya yang jawabnya sudah dia siapkan, kali ini dia mencoba melemparkan secara bebas. Terserah peserta seminar apa rumusnya.
Setelah trainer tersebut memapaparkan kasus itu, trainer tersebut bertanya pada mereka; apa yang ingin Anda lakukan? Mengapa Anda lakukan itu? Bagaimana perasaan Anda setelah melakukan itu? Mereka pun menuliskan jawabannya di kertas masing-masing secara berkelompok.
Pada mulanya dia mengira akan ada beberapa sudut pandang yang berbeda. Akan ada diskusi menarik dari berbagai sudut pandang itu. Tapi dia agak terkejut, ternyata peserta sejumlah lima puluh orang itu menjawab sama. Tindakan yang sama. Alasan yang sama. Dan perasaan yang sama. Kenapa?
Suara Hati
Saya akan menolong, begitu tindakan yang mereka pilih. Alasannya, kasihan…Dan tentang perasaannya setelah menolong mereka menjawab; puas, senang, bahagia. Mungkin pembaca penasaran, dan ingin menguji diri apakah pembaca juga punya jawaban yang sama terhadap permasalahan yang diajukan trainer tersebut? Kita coba saja.
Kasus itu sebagai berikut. Suatu kali di pagi hari yang cerah, Anda berjalan-jalan. Suasana masih sepi. Kiri kanan jalan penuh pepohonan rindang nan hijau. Udara yang Anda hirup terasa segar memenuhi dada. Tiba-tiba Anda mendengar suara: cuap-cuap-cuap. Anda pun terdorong ingin tahu.
Dengan mengendap-ngendap di rerumputan yang masih basah oleh embun, Anda mendatangi sumber suara itu. Anda menegok, ada sebuah parit selebar dan sedalam kira-kira satu hasta. Kiranya dari dalam situ suara berasal. Ternyata...tampak anak itik.
Ya, suara itu adalah anak ayam yang sedang sendirian. Bulunya basah dan wajahnya kelelahan. Tampaknya sudah lama ia berusaha keluar dari lubang itu, tetapi tidak bisa juga.
Bagaimana jawaban anda? Saya yakin kita sepakat bahwa tindakan yang kita pilih adalah: menolong anak itu. Ada getaran rasa yang tak tertahankan dari dalam diri saat melihatnya kelelahan; kasihan… Getaran itu demikian kuatnya, sehingga menggerakkan kaki kita melangkah, menyinggsingkan lengan baju, lalu kita ulurkan tangan dan mengangkatnya dari lubang itu.
Kita angkat dan bawa dengan lembut. Bulunya yang basah kita usap-usap agar kering. Di bawah sinar mentari pagi anak itik itu kita ajak berjemur agar terasa hangat. Seulas senyum menghiasi bibir. Ada rasa puas, tenteram, senang, dan bahagia. Betapa indahnya pagi ini.
Saya katakan kepada mereka, hari ini Anda telah berhasil merasakan dan mendengarkan suatu hati yang murni. Sinyal hati itu kita rasakan dalam bentuk perasaan kasihan. Tidak hanya itu, pada kasus ini secara mental Anda juga telah memberdayakan jiwa Anda. Tubuh Anda tergerak bertindak dengan benar dan tepat: menolong.
Dalam berbagai peristiwa sehari-hari, sesungguhnya Rasulullah saw., beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Saya menjawab, “Benar.” Beliau bersabda, “Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa-apa yang menenteramkan jiwa dan hati. Sedangkan dosa adalah apa-apa yang mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun orang-orang memberi fatwa yang membenarkanmu.” HR. Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Ad Darami, dengan sanad hasan.
Demikian pentingnya jiwa dan hati dalam kehidupan. Bila mau sejenak menenangkan jiwa dan berdialog dengan diri, kita bisa merasakan suara hati yang suci ini. Hati, sebagaimana sabda Rasul, bisa dijadikan penasehat diri, membedakan yang baik dan buruk. Hati adalah lentera hidup. Hati adalah pelita Ilahi. Mari kita didik jiwa ini agar lebih berdaya dengan mendengarkan suara hati.
Tertutup
Meski tampak sederhana seperti itu, mendengarkan hati pada kenyataannya tidak selalu mudah. Kadang jiwa ini bimbang dan bingung menghadapi persoalan kehidupan. Misalnya tentang kasus pornografi, termasuk terbitnya majalah Playboy yang baru lalu. Bagaimanakah pendapat masyarakat ketika itu? Bagaimana pula sikap guru, artis, politisi, dan pengusaha? Jawaban yang muncul ternyata beragam. Bahkan saling berseberangan. Yang satu mengatakan boleh saja. Sedang pihak lainnya berteriak, hentikan!
Biasanya amat sulit mempertemukannya, bahkan untuk saling memahami sudut pandanganya saja tidak bisa. Sehingga suasana semakin menajam, kian keruhm dan tak jarang meletus bentrok fisik dan rusuh.
Dalam kasus anak itik kita memiliki jawaban yang sama. Dorongan sikap yang sama pula. Tapi dalam kasus pornografi atau politik justru bertolak belakang. Saat demikian itu di mana hati nurani yang pernah kita dengar itu? Kenapa akal pikiran justru bukan untuk mencari kebenaran, tetapi menjadi pembenaran?
Kita sulit mendengar suara hati antara lain karena telah terkotori kepentingan dan ego. Dapat diibaratkan seperti kolam. Pada saat air jernih, kita dapat melihat dasar kolam itu dengan jelas. Dasar hati kita sama. Sebab fitrah nurani kita memang sama. Tetapi saat sudah dipenuhi sampah dan lumpur, dasar kolam itu tak tampak lagi. Ini pertanda nurani yang berada pada kedalaman jiwa tertutupi oleh ego dan hawa nafsu. Yang jadi pertimbangan bukan lagi kebenaran dan kebaikan, tetapi mana yang paling menguntungkan. Di sini yang dominan pertimbangan fisik, politik, ekonomi, bukan spiritual. Akal pikiran tunduk pada kepentingan.
Bahagia
Fitrah nurani manusia sama; menginginkan kebaikan, kebenaran, dan kemuliaan. Coba bertanyalah bahkan kepada seorang pendusta; jujur dengan dusta lebih baik mana? Tentu mereka akan mengatakan, jujur lebih baik. Juga tanyakan kepada orang yang gemar, maaf seks bebas. Apakah rela ibu mereka dizinai orang lain? Tentu mereka menjawab tidak rela. Rasul pernah menyadarakan seorang penzina dengan pertanyaan yang menggugah seperti itu.
Namun, suara hati itu tenggelam karena sering manusia lebih tergoda oleh kehidupan duniawi. Saat hawa nafsu mendominasi, manusia akan memilih kesenangan bukan kebaikan. Suara fitrah nurani diabaikan. Saat demikian, akal pikiran tidak lagi mencerahkan tapi hanya untuk pembenaran kepentingan. Yang menerbitkan majalah-majalah yang tergolong pornografi itu jelas orang pandai, bukan orang bodoh. Namun kepandaiannya tidak membawa kebenaran karena dominasi kepentingan dan hawa nafsu.
Untuk itu pendidikan yang baik, mencerahkan nurani manusia, dan memberdayakan harus tertanam lebih kuat. Dengan begitu semakin banyak ilmu, potensi fitrah yang sudah dimiliki sejak lahir kian berkembangan berbuah amal kebaikan. Dorongan kebaikan dalam detakan hati itu, bisa terwujud dalam kehidupan nyata. Tidak hanya secara pribadi, tapi dalam sistem dan budaya. Sehingga banyak amal yang diberikan dan berrmanfaat pada sesama. Rahmatan lil alamin.
Pendidikan dapat mencerahkan jiwa jika tidak hanya asah intelektual, tapi juga spiritual, menguatkan iman. Mempertemukan potensi dari dalam jiwa dengan wahyu dari Tuhannya.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” QS. Ar Ruum: 30
Pendidikan yang demikian itu akan membahagiakan. Fitrahnya kian teguh karena berpegang pada agama yang lurus. Inilah jalan kemuliaan dan kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan yang dirindukan banyak orang, dapat kita raih dengan mudah bila hati kembali pada Ilahi.
Betapa banyak manusia merindukan kebahagiaan namun tidak jua mendapatkan. Kita berkesempatan dapat menikmati hidup lebih bermakna bila hati ini ikhlas karena Alloh. Tindakan-tindakan kita tidak semata reaktif, tetapi lahir dari dorongan mulia kesadaran nurani. Kebiasaan-kebiasaan kita di tempat kerja, saat melayani konsumen atau pelanggan sesungguhnya karunia untuk dijadikan media menyalurkan nilai utama dari hati itu.
Janganlah tindakan kita itu semata dipenuhi dengan motivasi ekonomi saja yang akan menghalangi sinyal hati yang murni. Pamrih materi akan menurunkan kualitas jiwa kita dari makhluk ruhani menjadi mahkluk fisik. Cobalah dengarkan apa yang sesungguhnya menjadi masalah mereka dengan tulus dan rasakan keterpanggilan jiwa Anda untuk mengulurkan tangan sepenuh hati. Lakukan semua itu semata mencari rida Alloh.
Jadi untuk meraih kebahagiaan, tidak sebagaimana anggapan banyak orang, harus dengan materi berlimpah. Lakukanlah tindakan terbaik dengan tulus tanpa harus menuntut pamrih. Maka kebahagiaan akan mengalir dengan sendirinya. Ya, saat kita mampu menyalurkan getaran hati dengan tulus menjadi tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama, jiwa kita semakin bertumbuh dan bahagia. Kita memang membutuhkan pendidikan yang memberdayakan seperti itu.(Tim Redaksi)